DPR sebagai bagian dari salah satu institusi politik yang penting di negeri ini tentu saja seringkali mendapat sorotan yang tajam atas segala kiprah dan dinamikanya. Termasuk yang menjadi sorotan adalah tentang rencana DPR yang akan membangun gedung barunya. Rencana ini kemudian menjadi kontraversi di tengah rakyat. Banyak pendapat yang bermunculan, baik yang mendukung maupun yang kontra dengan rencana ini. Setidaknya kenapa rencana ini menjadi blunder menurut hemat saya terjadi karena : pertama, nilai pembangunannya yang dianggap terlalu mahal dan kedua karena DPR dianggap tidak sensitif dengan masalah riil yang dihadapi rakyat, yakni masalah kemiskinan yang masih tinggi serta merebaknya kasus korupsi yang seakan dibiarkan tak tertangani. Ketiga, di tengah anggota DPR sendiri ternyata tidak satu suara. Ada beberapa orang yang justeru tidak setuju dan malah menyampaikannya secara terbuka di sejumlah media.
Pertama, nilai pembangunannya yang dianggap terlalu mahal
Nilai pembangunan rencana kantor baru DPR dipandang sejumlah kalangan memiliki nilai yang amat mahal. Anggaran yang direncanakan 1,6 trilyun menurut banyak orang cukup mahal. Belum lagi fasilitas yang direncanakan malah semakin menyulut kontraversi. Sejumlah media menyebut bahwa gedung DPR nanti yang akan dibangun jauh lebih mewah dan lengkap fasilitasnya. Bahkan malah sejumlah kalangan mengatakan fasilitas pendukung seperti spa, fitness center serta kolam renang juga akan dibangun dikompleks gedung yang baru. Tentu saja informasi ini menjadi semakin menyulut ketidaksenangan rakyat yang selama ini masih merasa belum puas dengan kinerja para aleg yang ada di gedung parlemen.
Kedua, DPR dianggap tidak sensitif dengan masalah riil yang dihadapi rakyat
Di tengah rencana membangun gedung baru, sesunggguhnya DPR berada diambang ketidakpercayaan masyarakat. Sejumlah survei menunjukan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi dan dirasakan masyarakat di negeri ini seakan berjalan di tempat. Sebut saja misalnya persoalan kemiskinan, luas dan merebaknya budaya korupsi, lemahnya kontrol dan penegakan hukum, ketidakadilan hukum serta sejumlah isu-isu publik lain yang secara umum tidak jauh bergerak menuju perbaikan. Setelah reformasi, sejumlah persoalan mendasar tak tuntas terselesaikan, apalagi banyak pemimpin di negara ini yang tak dapat menahan diri dari kemewahan hidup yang dipamerkan. Saat yang sama, kuatnya konflik kepentingan antar kelompok di tingkat elit yang secara terbuka terlihat dengan amat transparan.
Masyarakat tentu saja muak dengan kondisi ini semua. Walau selama ini sejumlah penolakan atau penentangan terhadap rencana gedung baru DPR selalu ditepis oleh internal anggota dewan dengan mengatakan bahwa hal ini adalah wajar dan merupakan kebutuhan, tetap saja jawaban tadi tidak menyiratkan adanya prioritas dari pembangunan yang direncanakan. Kebutuhan boleh saja dijadikan alasan utama untuk membentuk gedung baru, namun perlu pula diingat bahwa rakyat ingin melihat adanya progress yang positif terhadap kinerja dewan yang ada. Sejumlah sidang yang selama ini dilakukan tampak kurang antusiasmenya anggota dewan untuk bisa hadir dan mengikuti. Entah apakah ada jaminan ketika fasilitas yang ada semakin diperbaiki apakah juga kehadiran, kedisplinan serta peningkatan kualitas anggota dewan juga meningkat?
Ketiga, di tengah anggota DPR sendiri ternyata tidak satu suara
Di tengah tuntutan untuk mengkaji kembali proses pembangunan gedung baru DPR, ternyata di kalangan internal anggota dewan sendiri belum ada satu suara yang utuh dalam merencanakan pembangunan tersebut. Sejumlah anggota dewan, bahkan beberapa diantaranya pimpinan yang ada di sana berbicara hal yang berbeda dengan mainstream mayoritas yang terjadi di sana. Mereka yang tidak setuju dengan pembangunan gedung baru DPR ini berupaya untuk mengekspose masalah ini langsung ke sejumlah media cetak, elektronik amupun media digital. Sementara ketika media akhirnya memuat pernyataan mereka justeru sebagian anggota dewan yang lain malah mengatakan bahwa anggota yang tidak setuju tidak memahami masalah yang ada dan tidak mewakili suara siapapun ketika beropini.
Bila media dan masyarakat ikut tidak setuju, maka jangan kemudian sejumlah anggota dewan mengatakan bahwa media “memihak” serta rakyat dihasut untuk memilih pilihan yang berbeda dengan rencana yang diinginkan DPR secara institusi. Lha, siapa sebenarnya yang menebar angin, bila kita runut, dari anggota dewan yang tidak setujulah penolakan terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR menggelinding laksana bola salju. Dan dari situ, isu yang ada semakin besar. Dan ironisnya justeru isu ini semakin liar tak menentu. Di sana-sini kemudian muncul bumbu-bumbu yang semakin tidak sedap untuk didengarkan. Sejumlah pihak diantaranya malah membuka ke media bahwa ia mencurigai terjadinya “politik dagang sapi’ antara panitia BURT dengan calon pembangun gedung baru DPR. Isu lainnya malah menyebutkan bahwa sejumlah anggota DPR bermain dalam rencana pembangunan gedung baru ini.
Kesimpulan
Dari pemaparan tadi, secara pribadi saya berpendapat bahwa lebih baik DPR menunda pembangunan gedung barunya sampai pada situasi yang tepat. Artinya, DPR harus menunjukan dulu kinerja terbaiknya serta meningkatkan sejumlah persoalan mendasar secara insitusi. Tokh, rakyat Indonesia sesungguhnya mereka juga punya perasaan dan logika. Mereka akan dengan sendirinya tidak akan mempersoalkan pembangunan ini jika telah melihat kebutuhan ini berada dalam situasi yang sesuai.
Tidak perlu-lah para anggota dewan ngotot membela diri dan terus memaksakan agar segera direalisasikan rencana pemabngunan yang ada. Pastikan dulu juga persoalan mendasar yang dialami rakyat saat ini menunjukan perbaikan dan peningkatan yang signifikan. Pastikan pula sejumlah hal yang amat sensitif yang terjadi bisa segera tuntas diselesaikan seperti penanganan para pengungsi dan korban di sejumlah tempat bencana seperti wasior, mentawai serta merapi. Pastikan pula parlemen dengan sungguh-sungguh mendorong tegaknya hukum sehingga mampu meningkatkan kewibawaannya di hadapan rakyat. Hukum yang didambakan bila mampu dibantu anggota dewan dan institusinya bisa tegak tentu saja akan mendapatkan apresiasi dari rakyat. Dari apresiasi ini dengan sendirinya akan timbul simpati dan rasa memiliki pada institusi parlemen yang ada. Rakyat malah bisa jadi yang akan membantu mengusulkan agar demi kehormatan bangsa dan negara maka gedung-gedung utama negara yang sudah tidak memadai segera bisa dibangun kembali, seperti gedung DPR/MPR/DPD, istana presiden dan wapres serta sejumlah gedung vital lain yang menjadi simbol negara. Rakyat juga pasti akan bangga bila negara ini mampu terus lebih baik dan meningkat pula fasilitasnya.
Tema: Manusia & Keadilan
Sumber : politik.kompasiana.com
0 comments:
Post a Comment